Rabu, 07 September 2011
Surat Untuk Si Mas
Halo,
Mas. Ini surat
pertamaku untukmu. Semoga kau memang menunggu hadirnya surat ini.
Mas,
sudah tiga hari aku tidak nafsu makan karenamu. Haha, pasti kau berfikir aku
sedang melancarkan aksi gombal kepadamu. Memang aku gombal, Mas. Aku bercanda.
Kau pun sudah pergi sebulan yang lalu, kenapa aku baru tidak nafsu makan tiga
hari belakangan? Kau pasti tahu aku bermain-main denganmu dari jauh, Mas. Aku
tahu kau cerdas.
Apa
kabarmu di negeri orang, Mas? Masih makan dengan teratur kah? Masih makan nasi,
Mas? (Aku ingat dengan jelas kata-katamu. “Perut orang Indonesia yang sudah terbiasa makan
nasi pasti tidak akan kenyang jika nasi diganti roti.”) Atau mungkin masih ada?
Karena kau sering berpuasa Senin-Kamis. Kebiasaan yang ingin kau tularkan
padaku. Walaupun kau susah payah membangunkanku setiap jam empat pagi. Aku
rindu, Mas..
Keadaan
di sini baik-baik saja, Mas. Seperti yang selalu kau tanyakan sebelum kau
pergi, “Baik-baik di sini ya?” Yah, aku baik-baik saja seperti harapmu. Walau
seminggu setelah kau pergi yang aku lakukan hanya menatap handphone, mengharapkan pesan teks darimu. Atau kebiasaanku sampai
sekarang, mengintip ke kotak pos di depan rumah. Aku baik-baik saja, Mas. Ku
tanamkan ini dalam hati.
Aku
masih malas dan susah bangun untuk puasa. Setidaknya shalatku tidak putus, Mas.
Bukan karena ingat Tuhan, tapi karenamu. Haha. Tak apalah, sedikit demi sedikit
‘kan
kuperbaiki niatku. Setiap mendengar adzan, perasaanku ingin cepat-cepat shalat,
Mas. Agar setelahnya bisa meminta maaf padamu, mencium lembut telapak tanganmu.
Aku lupa, Mas. Kau sudah tak di sini lagi..
Tapi ya sudahlah, aku tak mau larut
dalam sedih. Toh memori tentangmu masih hidup di benakku. Walau kata seorang
teman, “tak ada yang lebih perih dari kenangan”. Kenangan atasmu memang
mengirisku terkadang. Tak perlu kau sesali ini, Mas. Aku hanya ingin
menceritakan rasaku padamu, itu saja.
Kali ini, ingatan tentang masa kecil
kita memenuhi ruangan ini, Mas.. Aku yang lebih tua dua tahun darimu, harus
memanggilmu “mas”. Kau pernah menanyakan hal ini pada Ibu, aku ingat. “Kenapa
Mbak Lia manggil aku mas, Bu?” Masih ingat jawaban Ibu, Mas? Katanya, supaya
kita terbiasa sopan dalam bertutur kata. Terbiasa menghormati orang lain,
walaupun lebih muda dari umur kita.
Dulu, aku memanggilmu Mas karena
disuruh Ibu. Juga karena kau adik yang ku sayangi, adik yang sering bandel,
yang sering pulang ke rumah dengan pakaian kotor dan bekas luka di sana-sini.
Aku masih menyimpan fotomu yang seperti itu, foto yang aku ambil setelah kau
dan teman-temanmu memenangkan pertandingan sepak bola. Mukamu kucel sekali,
Mas..
Namun, jangan kau pikir aku masih
memanggilmu Mas dengan dasar seperti itu. Tidak. Kini aku memanggilmu Mas
karena aku “sayang” denganmu. Ingin bersamamu dan menghormatimu bagai orang
yang lebih tua dariku. Tak seperti dulu, Mas..
Aku tahu, rasanya berat menghadapi
kenyataan seperti ini. Aku pun merasa sesak di hati, tak mau menerima keadaan.
Lebih berat lagi saat kau memintaku pergi bersamamu menempuh ilmu di luar
negeri. Ibu dan Ayah memang mendukung kepergian kita. Tapi kau dan aku tahu,
mereka tak mengerti rasa apa yang berkembang di dada kita. Tujuan apa yang
ingin kau capai di luar sana.
Maaf, aku tak bisa mengecewakan mereka dengan menikah diam-diam denganmu.
Kenyataan itu kan,
yang mempercepat waktu kepergianmu ke sana?
Aku tahu kau hancur. Tapi kau tak tahu perasaanku, Mas. Ingin ku matikan
logikaku. Ingin ku turuti rasaku. Tapi aku tidak bisa. Kita anak Ibu dan Ayah.
Sudahlah,
mungkin tak perlu ku jelaskan panjang lebar betapa remuk redamnya aku. Apalagi,
dua minggu setelah itu, Ibu dan Ayah mengajakku bicara. Apa kau masih ingat,
Mas? Saat kita membuka album foto keluarga, dan kau tanyakan pada Ayah perihal
tak adanya fotoku yang baru lahir di rumah sakit. Masih ingat jawabannya? “Dulu
kami masih grogi, tak terpikirkan untuk membawa kamera. Ayah hanya memikirkan
keselamatan Ibu dan Mbakmu, Lia.” Mereka bohong, Mas.
Malam
itu, mereka masuk ke kamarku. Mereka berbicara tentangmu, tentang rasa sayang
mereka pada kita, tentang pernikahan mereka dulu. Mereka bercerita penantian
panjang mereka akan kita, seperti yang biasa diceritakan Ibu saat kita tidur di
pendopo rumah. Yang tidak Ibu ceritakan saat itu, bahwa aku bukan anak kandung
mereka, Mas. BUKAN SAUDARA KANDUNGmu, Mas. Bukan siapa-siapa di sini.
Aku
menangis, Mas. Aku kacau, perasaanku hancur lebur.
Apa
kau menyesal, Mas?
***
Setelah
malam itu, Ibu lebih perhatian. Semenjak ‘rahasia’ mereka dibuka, Ibu menjadi
semakin dekat denganku. Mungkin beliau takut setelah melihat aku yang mengunci
diri di kamar selama tiga hari berturut-turut. Keluar dari kamar hanya untuk
makan dan ke kamar mandi. Siapa yang tak takut dengan perempuan yang berbaju
rapi, tapi bermata sembab dan berjalan sambil menundukkan kepala? Lucu rasanya mengingat
hal itu. Tapi life must go on,
pepatah yang mati-matian aku jalani.
Hari
ini, aku sedang membereskan kamar dengan Ibu. Tepat sebulan setelah masa
gelapku.
“Lia, kotak ini
masih dipakai?”
“Kotaknya iya,
Bu. Isinya mau dibuang semua.”
“Ya sudah, Ibu
bakar saja, ya?”
Ku
anggukkan kepalaku. Surat
untuk si Mas, ada di dalam kotak itu.
juga dimuat di www.suarausu-online.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar