Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Rabu, 29 Februari 2012
Gadis Tak Bernama
Pertemuan kami terjadi biasa saja. Aku tidak begitu mengenalnya. Hanya sesekali melihatnya belajar denganku di kelas yang sama. Mungkin, ada tiga kelas yang kami ambil bersama. Aku kurang yakin.
Saat itu, dosen killer memberi tugas yang cukup rumit. Dia ingin meminjam tugasku. Bicaranya lewat telepon. Entah dari mana ia tahu nomor teleponku. He had no idea about the task. And I had no idea why he borrowed mine.
Saat itu, dosen killer memberi tugas yang cukup rumit. Dia ingin meminjam tugasku. Bicaranya lewat telepon. Entah dari mana ia tahu nomor teleponku. He had no idea about the task. And I had no idea why he borrowed mine.
Kami bertemu di tempatku biasa meminjam komik. Tidak begitu jauh dari pintu masuk kampus. Aku pikir, dia tipe mahasiswa kelebihan uang jajan yang malas mengerjakan tugas. Salah besar, ternyata. Dia malah mengajakku diskusi.
Dia punya nama yang indah, aku menyukainya. Unik, dengan akronim yang cantik menurutku. Kulitnya putih, badannya tinggi, dengan wajah campuran Indonesia dan salah satu negara di Asia yang tak mau aku sebutkan. Benar-benar jauh dari dugaanku sebelumnya.
Ada beberapa kesamaan di antara kami. Seperti kecintaannya akan film-film asing, atau hobinya bermain basket. Aku suka basket, walau telah aku tinggalkan karena badanku tak juga bertambah tinggi. Yang paling aku suka ialah saat ia melakukan three point shoot, saat itu lah ia memiliki makna berbeda.
***
Dia memanggilku ‘C’. Atau dengan embel-embel ‘sayang’ di akhir panggilanku itu. Setiap bertemu denganku, dia pasti memasang tampang jelek atau pura-pura tidak kenal. Kalau aku tetap berjalan tanpa memperhatikannya, dia langsung memanggil “dudeng!”. Entah apa artinya, tapi aku senang mendengarnya. Mungkin itu efek jatuh cinta, hal-hal paling bodoh sekali pun dapat kita terima kalau lagi jatuh cinta. Bodoh sekali..
Tiap pukul 06.30 pagi dia menelponku, memastikan aku telah sarapan atau tidak. Kalau belum, dia akan mengomel panjang lebar. Aku tertawa karenanya. Tak pernah ku temui pria yang secerewet dia.
Bukan di pagi hari saja dia “menghantuiku” dengan teleponnya. Setiap malamnya dia pasti menelponku lagi, mengajakku cerita sampai aku benar-benar tidur. Sampai ia tak mendengar suaraku menjawab berbagai keusilannya. Bodoh, kataku. Dia mengelak, katanya dia suka dengar suaraku. Padahal suaraku cempreng. Dan itu merupakan hiburan baginya.
Bukan di pagi hari saja dia “menghantuiku” dengan teleponnya. Setiap malamnya dia pasti menelponku lagi, mengajakku cerita sampai aku benar-benar tidur. Sampai ia tak mendengar suaraku menjawab berbagai keusilannya. Bodoh, kataku. Dia mengelak, katanya dia suka dengar suaraku. Padahal suaraku cempreng. Dan itu merupakan hiburan baginya.
***
“C sayang, kalau aku lagi kosong, aku telpon kamu ya. Jangan telpon aku sebelum itu,” katamu di akhir telepon. Ucapan yang sama yang selalu diulangnya. Aku hapal.
“Iya,” jawabku selalu. Aku kempiskan senyumku. Tak sampai semenit, handphonenya pasti dinonaktifkan. Miris.
“Iya,” jawabku selalu. Aku kempiskan senyumku. Tak sampai semenit, handphonenya pasti dinonaktifkan. Miris.
***
Kalau sedang tak bersamamu, gadis. Ia bersamaku. Kami tak pergi kemana-mana. Hanya duduk berdua di mobil silvernya. Sekadar bercerita, menghabiskan waktu kosongnya. Terkadang kau begitu jahat, menyuruhnya menunggumu berjam-jam sendirian. Kalau sudah begitu, tentu saja dia mengajakku bertemu. “Jangan salahkan aku,” ucapku dalam hati, setiap melihat fotomu di dashboard mobilnya.
Ingatkah kau, gadis? Terkadang, ketika kau menelponnya, ia buru-buru mematikan teleponmu? Atau berbicara dengan terbata-bata? Nah, saat itu ia sedang bersamaku. Telingaku panas, tentunya. Mendengar ia memanggilmu ‘sayang’, ‘beb’, ‘hun’.. Ia memanggilku dengan sebutan itu juga, ‘C sayang’, remember?
Ingatkah kau, gadis? Terkadang, ketika kau menelponnya, ia buru-buru mematikan teleponmu? Atau berbicara dengan terbata-bata? Nah, saat itu ia sedang bersamaku. Telingaku panas, tentunya. Mendengar ia memanggilmu ‘sayang’, ‘beb’, ‘hun’.. Ia memanggilku dengan sebutan itu juga, ‘C sayang’, remember?
Ia juga sering menjemputku, sebelum menjemputmu di rumah, gadis. Bayangkan! Aku memeluknya lebih dahulu daripadamu. Mencium aromanya yang menyenangkan, merekam senyumnya. Memuji penampilannya, bahkan membenarkan kerah kemejanya. Aku tahu, waktu yang kau habiskan dengannya lebih dari pada aku. Tapi biarkan aku berbangga hati walau sesaat.
Jam berapa ia biasa mengantarmu pulang? Jam enam kah? Atau tujuh? Jam berapa pun, setelah ia mengantarmu pulang, ia lalu menjemputku di tempat biasa. Tempat pertama kali kami berjumpa. Lalu ia mengantarku pulang juga. Kau tak tahu itu, gadis.
Hidupku berubah selama setahun ini. Menggunakan banyak topeng. Di depan teman-temannya, aku harus bersikap biasa. Menahan pandanganku, agar tak menatap matanya dengan penuh kagum. Di depannya, aku tersenyum, seolah-olah waktu yang ku habiskan bersamanya selalu lebih dari cukup. Tahukah kau, gadis? Tiap harinya aku menahan jutaan atom kerinduanku untuknya!
***
Aku mengagumimu, gadis.. Kau orang yang baik dan penuh pengertian. Seperti hari itu, di saat kau menelponku. Mengajakku bertemu. Aku tak tahu, dari mana kau tahu nomor teleponku. Kalian sama anehnya dalam hal ini.
Aku mengagumimu, gadis.. Kau orang yang baik dan penuh pengertian. Seperti hari itu, di saat kau menelponku. Mengajakku bertemu. Aku tak tahu, dari mana kau tahu nomor teleponku. Kalian sama anehnya dalam hal ini.
Jantungku berdebar dengan sangat kencang, gadis. Lebih kencang dari saat aku meminum dua cangkir kopi. Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan, selain mengikuti kemauanmu. Kau, benar-benar gadis yang baik.
***
“Ini bukan pertemuan kedua kita kan, gadis?” tanyaku sambil mengenang masa lalu.
“Sudahlah, biarkan apa yang telah berlalu,” katamu. Kemudian kau mengajakku ke sana. Ke dalam rumah yang seluruh dindingnya berwarna biru muda.
“Sudahlah, biarkan apa yang telah berlalu,” katamu. Kemudian kau mengajakku ke sana. Ke dalam rumah yang seluruh dindingnya berwarna biru muda.
***
Disebuah rumah duka, aku mencium keningnya dan berbisik, “Bukan salahku mendorongmu ke tengah jalan.”
“Hei, jangan memandangku seperti itu! Apa salahnya mengebut di jalanan sesepi itu?” bisik si gadis yang tak mau disebut namanya.
“Hei, jangan memandangku seperti itu! Apa salahnya mengebut di jalanan sesepi itu?” bisik si gadis yang tak mau disebut namanya.
Sekarang, kami lega.
juga dimuat di www.suarausu-online.com
Minggu, 18 Desember 2011
“Dadamu kecil ya,” katanya sambil meremas dadaku. Bibirnya ia lekatkan lagi di bibirku, melumatnya habis.
“Mmmm,” aku hanya mampu mendesah tak jelas. Kadung nafsu.
Ada nyeri di dada. Bukan karena diremas, nyeri itu menusuk jauh di dalam. Aku tidak mau peduli.
***
Hari ke 27
“Kamu mau ke mana hari ini?” tanyanya sambil memandangku lembut. Ardi tipe pria yang keras, jarang-jarang dia memandangku seperti ini. Biasanya ia terkesan kaku dan ya itu tadi, keras dan tak bersahabat. Ia masih memainkan rambutku yang lepas dari kuncirku. Aku berpikir keras, ingin hari ini jadi berkesan. Entah mengapa.
Hari ke 46
Aku benci Selasa. Seringnya, aku mengalami kesialan di hari ini. Aku lebih senang mendekam di rumah, main game Plants Vs Zombies. Permainan bodoh kata Ardi, tapi aku suka. Teman-temanku yang lain juga seperti itu. Ardi yang bodoh.
Hari ke 52
Ardi terlihat aneh ketika datang ke rumah, tidak fokus. Sepertinya pikirannya melayang entah ke mana. Aku tanya kenapa, dia tidak jawab.
Hari ke 54
Kali ini ia mau cerita, ada masalah dengan temannya. Berat menurutnya, aku usap-usap kepalanya. Seperti yang aku lakukan pada Gomen, kucingku. Dia tarik tanganku, badannya tiga kali lipat dari aku. Sontak aku jatuh di dadanya yang bidang. Dasar lelaki, tidak bisa disentuh biar sedikit, pikirku.
Dia menciumku. Aku biarkan saja. Dulu pernah baca, kalau kontak fisik dengan lawan jenis apalagi orang yang istimmewa seperti pacar atau sahabat bisa nenangin perasaan. Kalau aku lagi kalut, aku suka elus si Gomen. Gomen bukan orang tapi itu benar-benar nenangin perasaan.. Ardi nggak punya kucing. Kasihan..
Hari ke 123
Ardi jadi makin sering ke rumah. Nggak ada salahnya sih, toh pacar aku juga. Aku berusaha mensugesti pikiranku sendiri.
Tapi akhir-akhir ini dia beda. Makin sering nyium bibir aku. Tangannya jalan ke mana-mana. Risih. Badan ini kaya’ bukan badan aku sendiri. Aku mengelak, dia dekap lebih erat. Menyeramkan.
Hari ke 150
“Dadamu kecil ya,” katanya sambil meremas dadaku. Bibirnya ia lekatkan lagi di bibirku, melumatnya habis.
“Mmmm...” aku hanya mampu mendesah tak jelas. Kadung nafsu.
Ada nyeri di dada. Bukan karena diremas, nyeri itu menusuk jauh di dalam. Aku tidak mau peduli.
Mungkin aku adalah salah satu korban ganasnya budaya pop. Buku-buku, film-film yang aku baca dan tonton telah mewajarkan hal-hal seperti pegangan tangan, pelukan, ciuman dan berbagai kontak fisik yang sering dilakukan pasangan yang sedang dimabuk cinta. Yang tentu saja dilarang di agamaku, aturan dari kedua orang tuaku, dan norma yang dianut lingkunganku. Tapi ketika hal itu terjadi padaku, aku mulai bingung dan melakukan hal-hal yang aku ragukan kebenarannya.
Sewaktu aku mencium Ardi, kadang terlintas di pikiranku bahwa hal itu salah. Tapi aku menikmatinya, dan Ardi jadi senang dan sayang padaku. Salah kah? Namun terkadang Ardi meminta hal-hal tersebut di saat yang tidak tepat dan melakukan itu padaku di saat aku sedang tidak dalam mood yang baik. Ardi salah?
Aku benar-benar bingung sekarang..
Hari ke 697
Aku merasa sangat cantik hari ini, walau berada di tempat yang tidak tepat. Rambut sebahuku kini sudah sepanjang pinggulku. Aku kepang rapi, kemudian aku buat cepol pas di tengah kepala. Kemeja putihku sudah disetrika rapi, aku padukan dengan rok biru jins yang melewati lutut. Hari ini aku akan bicara banyak.
***
“Saya sudah sampai pada batas kesabaran. Selama ini saya berusaha banyak untuk menunjukkan rasa ketidaksukaan saya terhadap hal-hal yang ia perbuat kepada saya. Saya mengelak, mendorong bahkan pernah memarahinya. Tapi rupanya semua itu tidak mempan terhadap dirinya. Saya kehabisan akal untuk memberitahunya dengan cara yang paling baik.”
“Saya tidak merencanakan hal tersebut. Malam itu, saya sedang memasak di rumahnya. Tiba-tiba ia mendatangi saya dari belakang dan melakukan pelecehan seperti yang saya sampaikan di awal. Saya berusaha melindungi diri. Lalu saya ambil benda terdekat untuk membuat jarak antara dia dan saya. Sayangnya, benda terdekat itu adalah pisau dapur yang biasanya kugunakan untuk memasak.”
“Pak Hakim terhormat, saya benar-benar tidak menyesal telah melukai perutnya yang six-pack itu. Atau membuatnya tidur selamanya di bawah tanah yang bau. Saya ingin agar para perempuan sadar bahwa badan kita adalah hak diri kita sepenuhnya, yang tidak bisa digunakan untuk kepentingan apapun di luar keinginan kita. Terima kasih.”
Aku menengok ke belakang. Air mata Ibu berlinangan, tapi entah mengapa ia terlihat sangat bangga kepadaku.
Pernah dimuat di www.suarausu-online.com
Rabu, 07 September 2011
Sebenarnya, ada versi yang lebih
panjang lagi dari cerpen yang barusan aku post.
Nih dia,
Surat Untuk Si
Mas
Mas, sudah tiga hari aku tidak nafsu makan
karenamu. Haha, pasti kau berfikir aku sedang melancarkan aksi gombal kepadamu.
Memang aku gombal, Mas. Aku bercanda. Kau pun sudah pergi sebulan yang lalu,
kenapa aku baru tidak nafsu makan tiga hari belakangan? Kau pasti tahu aku
bermain-main denganmu dari jauh, Mas. Aku tahu kau cerdas.
Apa kabarmu di negeri orang, Mas? Masih
makan dengan teratur kah? Masih makan nasi, Mas?
“Sudah,
makan roti saja di sana! Ngapain bawa beras segala?” tanyaku sambil membantumu
mengemas barang.
“Perut
orang Indonesia ga bakal kenyang kalo disumpel ama roti aja, sayang,” katamu
sambil mengelus kepalaku. Aku tertawa karenanya.
Aku pikir, persediaan berasmu sudah habis
saat ini, Mas. Atau masih ada? Kau kan sering berpuasa Senin-Kamis. Kebiasaan
yang ingin kau tularkan padaku. Walaupun kau susah payah membangunkanku setiap
jam empat pagi. Aku rindu, Mas..
“Aku
mesti ganti puasaku,” kataku dengan wajah cemberut. Aku paling tidak bisa
bangun pagi.
“Nanti
aku bangunin, kita puasa bareng.”
“Gimana
caranya? Mulai besok Mas di luar kota, kan?”
“Kaya’
nggak ada handphone aja, Mbak Lia.
Ckckck,” katamu sambil menggelengkan kepala. Aku hanya tersenyum kecut.
Keadaan di sini baik-baik saja, Mas. Seperti
yang selalu kau tanyakan sebelum kau pergi, “Baik-baik di sini ya?” Yah, aku
baik-baik saja seperti harapmu. Seminggu setelah kau pergi yang aku lakukan
hanya menatap handphone, mengharapkan pesan teks darimu. Atau kebiasaanku
sampai sekarang, mengintip ke kotak pos di depan rumah. Aku baik-baik saja,
Mas. Ku tanamkan ini dalam hati.
“Lia,
tadi sore Rival nelpon, loh. Sayang, lagi-lagi kamu keluar sama temenmu,” kata
Ibu saat aku baru masuk rumah.
Sayang
kah? Setahuku, sudah dua kali kau menelpon di waktu yang sama. Dua-duanya di
waktu aku menjenguk Ridha di rumah sakit, kau tahu aku selalu ke sana di waktu
yang sama dua bulan terakhir ini. Kau marah, Mas?
Aku masih malas dan susah bangun untuk
puasa. Setidaknya shalatku tidak putus, Mas. Bukan karena ingat Tuhan, tapi
karenamu. Haha. Tak apalah, sedikit demi sedikit ‘kan kuperbaiki niatku. Setiap
mendengar adzan, perasaanku ingin cepat-cepat shalat, Mas.
“Salim?”
katamu sambil menyodorkan tangan.
“Untuk
apa?” tanyaku. Tapi ku cium juga tanganmu.
“Maafin
aku, kalo ada salah. Mulai sekarang, selalu gitu ya, kalo udah selesai solat?”
Aku
tersenyum.
Aku merindukan saat-saat aku bisa mencium
tanganmu. Tapi aku lupa, Mas. Kau sudah tak di sini lagi..
Tapi ya sudahlah, aku tak mau larut dalam
sedih. Toh memori tentangmu masih hidup di benakku. Walau kata seorang teman,
“tak ada yang lebih perih dari kenangan”. Kenangan atasmu memang mengirisku
terkadang. Tak perlu kau sesali ini, Mas. Aku hanya ingin menceritakan rasaku
padamu, itu saja.
“Maaf,
tapi aku merasa ada yang ‘lain’ akhir-akhir ini,” tuturku setahun lalu di
pendopo rumah. Saat kita tengah asyik menikmati tiupan angin.
“Kenapa
Mbak?” tanyamu heran.
“Aku
merasa, perasaanku sudah berubah, Mas. Tidak menyayangimu seperti dulu. Aku
jadi senang berdandan walaupun kita tidak pergi kemana-mana. Aku ingin terlihat
baik di depanmu. Kau mengerti maksudku?” jawabku terbata-bata.
Kau
menatapku lama, lalu bangun dari tidurmu. Saat sedang duduk seperti ini, kau
bahkan tetap lebih tinggi dariku.
Kali
ini, memori tentang masa kecil kita memenuhi ruangan ini, Mas.. Aku yang lebih
tua dua tahun darimu, harus memanggilmu “mas”. Kau pernah menanyakan hal ini
pada Ibu, aku ingat. “Kenapa Mbak Lia manggil aku mas, Bu?” Masih ingat jawaban
Ibu, Mas? Katanya, supaya kita terbiasa sopan dalam bertutur kata. Terbiasa
menghormati orang lain, walaupun lebih muda dari umur kita.
Kau dekap aku erat. Hari itu, Ibu
dan Ayah tak di rumah. Air mataku pun menetes. Mulai hari itu, kau sering
memanggilku ‘sayang’.
Dulu,
aku memanggilmu Mas karena disuruh Ibu. Juga karena kau adik yang ku sayangi,
adik yang sering bandel, yang sering pulang ke rumah dengan pakaian kotor dan
bekas luka di sana-sini. Aku masih menyimpan fotomu yang seperti itu, foto yang
aku ambil setelah kau dan teman-temanmu memenangkan pertandingan sepak bola.
Mukamu kucel sekali, Mas..
Walau
dulu disuruh Ibu, jangan kau pikir aku masih memanggilmu Mas dengan dasar
seperti itu. Tidak. Kini aku memanggilmu Mas karena aku ‘sayang’ denganmu.
Ingin bersamamu dan menghormatimu bagai orang yang lebih tua dariku. Tak
seperti dulu, Mas..
Aku
tahu, rasanya berat menghadapi kenyataan seperti ini. Aku pun merasa sesak di
hati, tak mau menerima keadaan. Lebih berat lagi saat kau memintaku pergi
bersamamu ke luar negeri.
“Sayang, kamu harus ikut aku ke
sana! Kau pernah bilang kalo kau terpesona dengan Big Ben, kan? Aku akan
memfotomu langsung di depan Big Ben!” kau antusias. Aku terdiam.
Ibu dan Ayah memang mendukung kepergian
kita. Tapi kau dan aku tahu, mereka tak mengerti rasa apa yang berkembang di
dada kita. Tujuan apa yang ingin kau capai di luar sana. Maaf, aku tak bisa
mengecewakan mereka dengan menikah diam-diam denganmu.
“Sayang,
kita bisa hidup berdua di sana! Okelah, beasiswaku cuma untuk tiga bulan. Tapi
aku mampu menulis. Aku akan bekerja di media sana. Kita nggak perlu pulang
untuk beberapa tahun. Aku bisa menghidupi keluarga kita di sana!” suaramu
mengeras. Air mataku tak henti jatuh ke lantai.
“Apa
yang kau takutkan? Orang sana nggak akan peduli dengan kita. Lambat laun, Ibu
dan Ayah akan mengerti perasaan kita! Aku udah nggak tahan harus berpura-pura
di depan mereka. Aku nggak tahan tiga bulan terpisah darimu!”
Suara
tangisku semakin keras..
“Tolonglah
aku, Lia. Aku sayang denganmu. Saudaraku, kekasihku..”
“Aku
nggak bisa, Mas..”
Kenyataan
itu kan, yang mempercepat waktu kepergianmu ke sana? Aku tahu kau hancur. Tapi
kau tak tahu perasaanku, Mas. Ingin ku matikan logikaku. Ingin ku turuti
rasaku. Tapi aku tidak bisa. Kita anak Ibu dan Ayah.
“Ayah,
kenapa perut Ibu besar kaya’ balon?”
“Di
dalam sana ada adik Lia. Nanti, Lia harus sayang sama dia.”
Sudahlah, mungkin tak perlu ku jelaskan
panjang lebar betapa remuk redamnya aku. Apalagi, dua minggu setelah
kepergianmu, Ibu dan Ayah mengajakku bicara. Apa kau masih ingat, Mas? Saat
kita membuka album foto keluarga, dan kau tanyakan pada Ayah perihal tak adanya
fotoku yang baru lahir di rumah sakit. Masih ingat jawabannya? “Dulu kami masih
grogi, tak terpikirkan untuk membawa kamera. Ayah hanya memikirkan keselamatan
Ibu dan Mbakmu, Lia.” Mereka bohong, Mas.
Malam itu, mereka masuk ke kamarku. Aku
sedang mengatur bajuku. Mereka berbicara tentangmu, tentang rasa sayang mereka
pada kita, tentang pernikahan mereka dulu.
Mereka bercerita penantian panjang mereka
akan kita, seperti yang biasa diceritakan Ibu saat kita tidur di pendopo rumah.
Yang tidak Ibu ceritakan saat itu, bahwa aku bukan anak kandung mereka, Mas.
BUKAN SAUDARA KANDUNGmu, Mas. Bukan siapa-siapa di sini.
Aku menangis, Mas. Aku kacau, perasaanku
hancur lebur.
Apa kau menyesal, Mas?
***
Setelah
malam itu, Ibu lebih perhatian. Semenjak ‘rahasia’ mereka dibuka, Ibu menjadi
semakin dekat denganku. Mungkin beliau takut melihat aku yang mengunci diri di
kamar selama tiga hari berturut-turut. Keluar dari kamar hanya untuk makan dan
ke kamar mandi. Siapa yang tak takut dengan perempuan yang berbaju rapi, tapi
bermata sembab dan berjalan sambil menundukkan kepala? Lucu rasanya mengingat
hal itu.
Tapi
life must go on, pepatah yang
mati-matian aku jalani. Hari ini, aku sedang membereskan kamar dengan Ibu.
“Lia, kotak ini
masih dipakai?”
“Kotaknya iya, Bu.
Isinya mau dibuang semua.”
“Ya sudah, Ibu
bakar saja,ya?”
Ku
anggukkan kepalaku. Surat untuk si Mas, ada di dalam kotak itu.
Surat Untuk Si Mas
Halo,
Mas. Ini surat
pertamaku untukmu. Semoga kau memang menunggu hadirnya surat ini.
Mas,
sudah tiga hari aku tidak nafsu makan karenamu. Haha, pasti kau berfikir aku
sedang melancarkan aksi gombal kepadamu. Memang aku gombal, Mas. Aku bercanda.
Kau pun sudah pergi sebulan yang lalu, kenapa aku baru tidak nafsu makan tiga
hari belakangan? Kau pasti tahu aku bermain-main denganmu dari jauh, Mas. Aku
tahu kau cerdas.
Apa
kabarmu di negeri orang, Mas? Masih makan dengan teratur kah? Masih makan nasi,
Mas? (Aku ingat dengan jelas kata-katamu. “Perut orang Indonesia yang sudah terbiasa makan
nasi pasti tidak akan kenyang jika nasi diganti roti.”) Atau mungkin masih ada?
Karena kau sering berpuasa Senin-Kamis. Kebiasaan yang ingin kau tularkan
padaku. Walaupun kau susah payah membangunkanku setiap jam empat pagi. Aku
rindu, Mas..
Keadaan
di sini baik-baik saja, Mas. Seperti yang selalu kau tanyakan sebelum kau
pergi, “Baik-baik di sini ya?” Yah, aku baik-baik saja seperti harapmu. Walau
seminggu setelah kau pergi yang aku lakukan hanya menatap handphone, mengharapkan pesan teks darimu. Atau kebiasaanku sampai
sekarang, mengintip ke kotak pos di depan rumah. Aku baik-baik saja, Mas. Ku
tanamkan ini dalam hati.
Aku
masih malas dan susah bangun untuk puasa. Setidaknya shalatku tidak putus, Mas.
Bukan karena ingat Tuhan, tapi karenamu. Haha. Tak apalah, sedikit demi sedikit
‘kan
kuperbaiki niatku. Setiap mendengar adzan, perasaanku ingin cepat-cepat shalat,
Mas. Agar setelahnya bisa meminta maaf padamu, mencium lembut telapak tanganmu.
Aku lupa, Mas. Kau sudah tak di sini lagi..
Tapi ya sudahlah, aku tak mau larut
dalam sedih. Toh memori tentangmu masih hidup di benakku. Walau kata seorang
teman, “tak ada yang lebih perih dari kenangan”. Kenangan atasmu memang
mengirisku terkadang. Tak perlu kau sesali ini, Mas. Aku hanya ingin
menceritakan rasaku padamu, itu saja.
Kali ini, ingatan tentang masa kecil
kita memenuhi ruangan ini, Mas.. Aku yang lebih tua dua tahun darimu, harus
memanggilmu “mas”. Kau pernah menanyakan hal ini pada Ibu, aku ingat. “Kenapa
Mbak Lia manggil aku mas, Bu?” Masih ingat jawaban Ibu, Mas? Katanya, supaya
kita terbiasa sopan dalam bertutur kata. Terbiasa menghormati orang lain,
walaupun lebih muda dari umur kita.
Dulu, aku memanggilmu Mas karena
disuruh Ibu. Juga karena kau adik yang ku sayangi, adik yang sering bandel,
yang sering pulang ke rumah dengan pakaian kotor dan bekas luka di sana-sini.
Aku masih menyimpan fotomu yang seperti itu, foto yang aku ambil setelah kau
dan teman-temanmu memenangkan pertandingan sepak bola. Mukamu kucel sekali,
Mas..
Namun, jangan kau pikir aku masih
memanggilmu Mas dengan dasar seperti itu. Tidak. Kini aku memanggilmu Mas
karena aku “sayang” denganmu. Ingin bersamamu dan menghormatimu bagai orang
yang lebih tua dariku. Tak seperti dulu, Mas..
Aku tahu, rasanya berat menghadapi
kenyataan seperti ini. Aku pun merasa sesak di hati, tak mau menerima keadaan.
Lebih berat lagi saat kau memintaku pergi bersamamu menempuh ilmu di luar
negeri. Ibu dan Ayah memang mendukung kepergian kita. Tapi kau dan aku tahu,
mereka tak mengerti rasa apa yang berkembang di dada kita. Tujuan apa yang
ingin kau capai di luar sana.
Maaf, aku tak bisa mengecewakan mereka dengan menikah diam-diam denganmu.
Kenyataan itu kan,
yang mempercepat waktu kepergianmu ke sana?
Aku tahu kau hancur. Tapi kau tak tahu perasaanku, Mas. Ingin ku matikan
logikaku. Ingin ku turuti rasaku. Tapi aku tidak bisa. Kita anak Ibu dan Ayah.
Sudahlah,
mungkin tak perlu ku jelaskan panjang lebar betapa remuk redamnya aku. Apalagi,
dua minggu setelah itu, Ibu dan Ayah mengajakku bicara. Apa kau masih ingat,
Mas? Saat kita membuka album foto keluarga, dan kau tanyakan pada Ayah perihal
tak adanya fotoku yang baru lahir di rumah sakit. Masih ingat jawabannya? “Dulu
kami masih grogi, tak terpikirkan untuk membawa kamera. Ayah hanya memikirkan
keselamatan Ibu dan Mbakmu, Lia.” Mereka bohong, Mas.
Malam
itu, mereka masuk ke kamarku. Mereka berbicara tentangmu, tentang rasa sayang
mereka pada kita, tentang pernikahan mereka dulu. Mereka bercerita penantian
panjang mereka akan kita, seperti yang biasa diceritakan Ibu saat kita tidur di
pendopo rumah. Yang tidak Ibu ceritakan saat itu, bahwa aku bukan anak kandung
mereka, Mas. BUKAN SAUDARA KANDUNGmu, Mas. Bukan siapa-siapa di sini.
Aku
menangis, Mas. Aku kacau, perasaanku hancur lebur.
Apa
kau menyesal, Mas?
***
Setelah
malam itu, Ibu lebih perhatian. Semenjak ‘rahasia’ mereka dibuka, Ibu menjadi
semakin dekat denganku. Mungkin beliau takut setelah melihat aku yang mengunci
diri di kamar selama tiga hari berturut-turut. Keluar dari kamar hanya untuk
makan dan ke kamar mandi. Siapa yang tak takut dengan perempuan yang berbaju
rapi, tapi bermata sembab dan berjalan sambil menundukkan kepala? Lucu rasanya mengingat
hal itu. Tapi life must go on,
pepatah yang mati-matian aku jalani.
Hari
ini, aku sedang membereskan kamar dengan Ibu. Tepat sebulan setelah masa
gelapku.
“Lia, kotak ini
masih dipakai?”
“Kotaknya iya,
Bu. Isinya mau dibuang semua.”
“Ya sudah, Ibu
bakar saja, ya?”
Ku
anggukkan kepalaku. Surat
untuk si Mas, ada di dalam kotak itu.
juga dimuat di www.suarausu-online.com
Langganan:
Postingan (Atom)