Rabu, 29 Februari 2012
Gadis Tak Bernama
Pertemuan kami terjadi biasa saja. Aku tidak begitu mengenalnya. Hanya sesekali melihatnya belajar denganku di kelas yang sama. Mungkin, ada tiga kelas yang kami ambil bersama. Aku kurang yakin.
Saat itu, dosen killer memberi tugas yang cukup rumit. Dia ingin meminjam tugasku. Bicaranya lewat telepon. Entah dari mana ia tahu nomor teleponku. He had no idea about the task. And I had no idea why he borrowed mine.
Saat itu, dosen killer memberi tugas yang cukup rumit. Dia ingin meminjam tugasku. Bicaranya lewat telepon. Entah dari mana ia tahu nomor teleponku. He had no idea about the task. And I had no idea why he borrowed mine.
Kami bertemu di tempatku biasa meminjam komik. Tidak begitu jauh dari pintu masuk kampus. Aku pikir, dia tipe mahasiswa kelebihan uang jajan yang malas mengerjakan tugas. Salah besar, ternyata. Dia malah mengajakku diskusi.
Dia punya nama yang indah, aku menyukainya. Unik, dengan akronim yang cantik menurutku. Kulitnya putih, badannya tinggi, dengan wajah campuran Indonesia dan salah satu negara di Asia yang tak mau aku sebutkan. Benar-benar jauh dari dugaanku sebelumnya.
Ada beberapa kesamaan di antara kami. Seperti kecintaannya akan film-film asing, atau hobinya bermain basket. Aku suka basket, walau telah aku tinggalkan karena badanku tak juga bertambah tinggi. Yang paling aku suka ialah saat ia melakukan three point shoot, saat itu lah ia memiliki makna berbeda.
***
Dia memanggilku ‘C’. Atau dengan embel-embel ‘sayang’ di akhir panggilanku itu. Setiap bertemu denganku, dia pasti memasang tampang jelek atau pura-pura tidak kenal. Kalau aku tetap berjalan tanpa memperhatikannya, dia langsung memanggil “dudeng!”. Entah apa artinya, tapi aku senang mendengarnya. Mungkin itu efek jatuh cinta, hal-hal paling bodoh sekali pun dapat kita terima kalau lagi jatuh cinta. Bodoh sekali..
Tiap pukul 06.30 pagi dia menelponku, memastikan aku telah sarapan atau tidak. Kalau belum, dia akan mengomel panjang lebar. Aku tertawa karenanya. Tak pernah ku temui pria yang secerewet dia.
Bukan di pagi hari saja dia “menghantuiku” dengan teleponnya. Setiap malamnya dia pasti menelponku lagi, mengajakku cerita sampai aku benar-benar tidur. Sampai ia tak mendengar suaraku menjawab berbagai keusilannya. Bodoh, kataku. Dia mengelak, katanya dia suka dengar suaraku. Padahal suaraku cempreng. Dan itu merupakan hiburan baginya.
Bukan di pagi hari saja dia “menghantuiku” dengan teleponnya. Setiap malamnya dia pasti menelponku lagi, mengajakku cerita sampai aku benar-benar tidur. Sampai ia tak mendengar suaraku menjawab berbagai keusilannya. Bodoh, kataku. Dia mengelak, katanya dia suka dengar suaraku. Padahal suaraku cempreng. Dan itu merupakan hiburan baginya.
***
“C sayang, kalau aku lagi kosong, aku telpon kamu ya. Jangan telpon aku sebelum itu,” katamu di akhir telepon. Ucapan yang sama yang selalu diulangnya. Aku hapal.
“Iya,” jawabku selalu. Aku kempiskan senyumku. Tak sampai semenit, handphonenya pasti dinonaktifkan. Miris.
“Iya,” jawabku selalu. Aku kempiskan senyumku. Tak sampai semenit, handphonenya pasti dinonaktifkan. Miris.
***
Kalau sedang tak bersamamu, gadis. Ia bersamaku. Kami tak pergi kemana-mana. Hanya duduk berdua di mobil silvernya. Sekadar bercerita, menghabiskan waktu kosongnya. Terkadang kau begitu jahat, menyuruhnya menunggumu berjam-jam sendirian. Kalau sudah begitu, tentu saja dia mengajakku bertemu. “Jangan salahkan aku,” ucapku dalam hati, setiap melihat fotomu di dashboard mobilnya.
Ingatkah kau, gadis? Terkadang, ketika kau menelponnya, ia buru-buru mematikan teleponmu? Atau berbicara dengan terbata-bata? Nah, saat itu ia sedang bersamaku. Telingaku panas, tentunya. Mendengar ia memanggilmu ‘sayang’, ‘beb’, ‘hun’.. Ia memanggilku dengan sebutan itu juga, ‘C sayang’, remember?
Ingatkah kau, gadis? Terkadang, ketika kau menelponnya, ia buru-buru mematikan teleponmu? Atau berbicara dengan terbata-bata? Nah, saat itu ia sedang bersamaku. Telingaku panas, tentunya. Mendengar ia memanggilmu ‘sayang’, ‘beb’, ‘hun’.. Ia memanggilku dengan sebutan itu juga, ‘C sayang’, remember?
Ia juga sering menjemputku, sebelum menjemputmu di rumah, gadis. Bayangkan! Aku memeluknya lebih dahulu daripadamu. Mencium aromanya yang menyenangkan, merekam senyumnya. Memuji penampilannya, bahkan membenarkan kerah kemejanya. Aku tahu, waktu yang kau habiskan dengannya lebih dari pada aku. Tapi biarkan aku berbangga hati walau sesaat.
Jam berapa ia biasa mengantarmu pulang? Jam enam kah? Atau tujuh? Jam berapa pun, setelah ia mengantarmu pulang, ia lalu menjemputku di tempat biasa. Tempat pertama kali kami berjumpa. Lalu ia mengantarku pulang juga. Kau tak tahu itu, gadis.
Hidupku berubah selama setahun ini. Menggunakan banyak topeng. Di depan teman-temannya, aku harus bersikap biasa. Menahan pandanganku, agar tak menatap matanya dengan penuh kagum. Di depannya, aku tersenyum, seolah-olah waktu yang ku habiskan bersamanya selalu lebih dari cukup. Tahukah kau, gadis? Tiap harinya aku menahan jutaan atom kerinduanku untuknya!
***
Aku mengagumimu, gadis.. Kau orang yang baik dan penuh pengertian. Seperti hari itu, di saat kau menelponku. Mengajakku bertemu. Aku tak tahu, dari mana kau tahu nomor teleponku. Kalian sama anehnya dalam hal ini.
Aku mengagumimu, gadis.. Kau orang yang baik dan penuh pengertian. Seperti hari itu, di saat kau menelponku. Mengajakku bertemu. Aku tak tahu, dari mana kau tahu nomor teleponku. Kalian sama anehnya dalam hal ini.
Jantungku berdebar dengan sangat kencang, gadis. Lebih kencang dari saat aku meminum dua cangkir kopi. Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan, selain mengikuti kemauanmu. Kau, benar-benar gadis yang baik.
***
“Ini bukan pertemuan kedua kita kan, gadis?” tanyaku sambil mengenang masa lalu.
“Sudahlah, biarkan apa yang telah berlalu,” katamu. Kemudian kau mengajakku ke sana. Ke dalam rumah yang seluruh dindingnya berwarna biru muda.
“Sudahlah, biarkan apa yang telah berlalu,” katamu. Kemudian kau mengajakku ke sana. Ke dalam rumah yang seluruh dindingnya berwarna biru muda.
***
Disebuah rumah duka, aku mencium keningnya dan berbisik, “Bukan salahku mendorongmu ke tengah jalan.”
“Hei, jangan memandangku seperti itu! Apa salahnya mengebut di jalanan sesepi itu?” bisik si gadis yang tak mau disebut namanya.
“Hei, jangan memandangku seperti itu! Apa salahnya mengebut di jalanan sesepi itu?” bisik si gadis yang tak mau disebut namanya.
Sekarang, kami lega.
juga dimuat di www.suarausu-online.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar