Minggu, 18 Desember 2011

Aku Dan Dia

“Dadamu kecil ya,” katanya sambil meremas dadaku. Bibirnya ia lekatkan lagi di bibirku, melumatnya habis.
“Mmmm,” aku hanya mampu mendesah tak jelas. Kadung nafsu.
Ada nyeri di dada. Bukan karena diremas, nyeri itu menusuk jauh di dalam. Aku tidak mau peduli.
***
Hari ke 27
“Kamu mau ke mana hari ini?” tanyanya sambil memandangku lembut. Ardi tipe pria yang keras, jarang-jarang dia memandangku seperti ini. Biasanya ia terkesan kaku dan ya itu tadi, keras dan tak bersahabat. Ia masih memainkan rambutku yang lepas dari kuncirku. Aku berpikir keras, ingin hari ini jadi berkesan. Entah mengapa.

Hari ke 46
Aku benci Selasa. Seringnya, aku mengalami kesialan di hari ini. Aku lebih senang mendekam di rumah, main game Plants Vs Zombies. Permainan bodoh kata Ardi, tapi aku suka. Teman-temanku yang lain juga seperti itu. Ardi yang bodoh.

Hari ke 52
Ardi terlihat aneh ketika datang ke rumah, tidak fokus. Sepertinya pikirannya melayang entah ke mana. Aku tanya kenapa, dia tidak jawab.

Hari ke 54
Kali ini ia mau cerita, ada masalah dengan temannya. Berat menurutnya, aku usap-usap kepalanya. Seperti yang aku lakukan pada Gomen, kucingku. Dia tarik tanganku, badannya tiga kali lipat dari aku. Sontak aku jatuh di dadanya yang bidang. Dasar lelaki, tidak bisa disentuh biar sedikit, pikirku.
Dia menciumku. Aku biarkan saja. Dulu pernah baca, kalau kontak fisik dengan lawan jenis apalagi orang yang istimmewa seperti pacar atau sahabat bisa nenangin perasaan. Kalau aku lagi kalut, aku suka elus si Gomen. Gomen bukan orang tapi itu benar-benar nenangin perasaan.. Ardi nggak punya kucing. Kasihan..

Hari ke 123
Ardi jadi makin sering ke rumah. Nggak ada salahnya sih, toh pacar aku juga. Aku berusaha mensugesti pikiranku sendiri.
Tapi akhir-akhir ini dia beda. Makin sering nyium bibir aku. Tangannya jalan ke mana-mana. Risih. Badan ini kaya’ bukan badan aku sendiri. Aku mengelak, dia dekap lebih erat. Menyeramkan.

Hari ke 150
“Dadamu kecil ya,” katanya sambil meremas dadaku. Bibirnya ia lekatkan lagi di bibirku, melumatnya habis.
“Mmmm...” aku hanya mampu mendesah tak jelas. Kadung nafsu.
Ada nyeri di dada. Bukan karena diremas, nyeri itu menusuk jauh di dalam. Aku tidak mau peduli.

Mungkin aku adalah salah satu korban ganasnya budaya pop. Buku-buku, film-film yang aku baca dan tonton telah mewajarkan hal-hal seperti pegangan tangan, pelukan, ciuman dan berbagai kontak fisik yang sering dilakukan pasangan yang sedang dimabuk cinta. Yang tentu saja dilarang di agamaku, aturan dari kedua orang tuaku, dan norma yang dianut lingkunganku. Tapi ketika hal itu terjadi padaku, aku mulai bingung dan melakukan hal-hal yang aku ragukan kebenarannya.

Sewaktu aku mencium Ardi, kadang terlintas di pikiranku bahwa hal itu salah. Tapi aku menikmatinya, dan Ardi jadi senang dan sayang padaku. Salah kah? Namun terkadang Ardi meminta hal-hal tersebut di saat yang tidak tepat dan melakukan itu padaku di saat aku sedang tidak dalam mood yang baik. Ardi salah?
Aku benar-benar bingung sekarang..

Hari ke 697
Aku merasa sangat cantik hari ini, walau berada di tempat yang tidak tepat. Rambut sebahuku kini sudah sepanjang pinggulku. Aku kepang rapi, kemudian aku buat cepol pas di tengah kepala. Kemeja putihku sudah disetrika rapi, aku padukan dengan rok biru jins yang melewati lutut. Hari ini aku akan bicara banyak.
***
“Saya sudah sampai pada batas kesabaran. Selama ini saya berusaha banyak untuk menunjukkan rasa ketidaksukaan saya terhadap hal-hal yang ia perbuat kepada saya. Saya mengelak, mendorong bahkan pernah memarahinya. Tapi rupanya semua itu tidak mempan terhadap dirinya. Saya kehabisan akal untuk memberitahunya dengan cara yang paling baik.”

“Saya tidak merencanakan hal tersebut. Malam itu, saya sedang memasak di rumahnya. Tiba-tiba ia mendatangi saya dari belakang dan melakukan pelecehan seperti yang saya sampaikan di awal. Saya berusaha melindungi diri. Lalu saya ambil benda terdekat untuk membuat jarak antara dia dan saya. Sayangnya, benda terdekat itu adalah pisau dapur yang biasanya kugunakan untuk memasak.”

“Pak Hakim terhormat, saya benar-benar tidak menyesal telah melukai perutnya yang six-pack itu. Atau membuatnya tidur selamanya di bawah tanah yang bau. Saya ingin agar para perempuan sadar bahwa badan kita adalah hak diri kita sepenuhnya, yang tidak bisa digunakan untuk kepentingan apapun di luar keinginan kita. Terima kasih.”

Aku menengok ke belakang. Air mata Ibu berlinangan, tapi entah mengapa ia terlihat sangat bangga kepadaku.

Pernah dimuat di www.suarausu-online.com

0 komentar:

Posting Komentar